Indonesiaku Indah dan Beragam Budaya

Zahra Nur Fadilah
Esai Foto: Memotret Indonesia
Kebudayaan Pertunjukan Kuda Sebelum Acara Khitanan



Kuda Renggong

Merujuk situs www.disparbud.jabarprov.go.id (2011) “Kata Renggong di dalam Kuda Renggong merupakan metatesis dari kata renggong yaitu kamonesan (keterampilan) cara berjalan kuda yang telah dilatih untuk menari mengikuti irama musik terutama kendang”. Situs tersebut menjelaskan bahwa ada dua jenis pertunjukan Kuda Renggong, “yaitu sebagai kuda tunggangan dalam arak-arakan anak sunat dan Kuda Renggong yang dipertontonkan pada saat-saat tertentu seperti upacara peringatan hari besar, menerima tamu kehormatan, atau festival” (www.disparbud.jabarprov.go.id, 2011).
Merujuk Stuart Hall (1997: 18), “The general term we use for words, sounds or images which carry meaning is signs”. Saya melihat terdapat tanda dalam gambar pertunjukan Kuda Renggong tersebut yang mewakilkan bagaimana perasaan anak yang disunat. Anak yang dinaikkan di kuda maupun kudanya juga dihias secara meriah. Perasaan senang dan rasa syukur dilambangkan dengan tanda tersebut. “These signs stand for or represent the concepts and the conceptual relations between them which we carry around in our heads and together they make up the meaning-systems of our culture” (Hall, 1997: 18). Anak yang menaiki kuda mengenakan pakaian tokoh wayang yang terkenal akan kekuatannya melawan musuh. Menurut www.disparbud.jabarprov.go.id (2011), “dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca (khusus anak sunat laki-laki), anak sunat tersebut dinaikkan ke atas Kuda Renggong, untuk kemudian diarak mengelilingi desa”. Tokoh Gatotkaca memiliki kesaktian yang luar biasa. Tanda yang dimiliki kostum Gatotkaca menggambarkan bahwa anak yang disunat harus kuat terhadap rasa sakit. Kuda yang ditumpangi juga dia kuasai. Kostum Gatotkaca memang benar-benar mencerminkan kejantanan yang harus dimiliki anak laki-laki. 
            Pertunjukan kuda Renggong yang ditampilkan gambar diatas mempunyai unsur kuasa antar pelaku pertunjukan. Anak yang dinaikkan diatas kuda seakan-akan mempunyai kuasa atas orang-orang sekitar yang melihat pertunjukan. Mereka tertarik untuk melihat keramaian yang terjadi. Saya juga menjadi penasaran saat mendengar suara-suara berisik yang ditimbulkan pertunjukan tersebut. Anak tersebut juga memiliki kuasa atas pemain alat musik yang seakan-akan harus mengiringi pertnjukan dia. Menurut Haryatmoko merujuk Nietzsche (2010: 5), “Dominasi tidak selalu dalam bentuk penjajahan atau kasat mata seperti penindasan fisik, ekonomi atau sosial, tetapi bisa dalam bentuk dominasi simbolik yang sering secara sadar atau tidak disetujui oleh korbannya.”.
Budaya tradiosional seperti Kuda Renggong ini harus dilestarikan bersama. Saya pikir peran pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan demi mempertahankan identitas masyarakat Sunda. Foto tersebut memperlihatkan jumlah penonton semakin sedikit, bahkan hampir tidak ada. Jumlah penonton yang sedikit menggambarkan penurunan minat masyarakat terhadap kesenian atau budaya tradisional. Penurunan ketertarikan masyarakat sekitar dapat disebabkan oleh beberapa hal. Kemajuan teknologi dapat menggeser peran budaya tradisional dalam masyarakat. Merujuk Warieni (2013: 1) mengutip Koentjaraningrat (1993: 113), “Kesenian nasional yang mengandung serta memancarkan nilai-nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia, yang dalam hal ini merupakan nilai yang kita banggakan yang sekaligus dikagumi dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain”. Kesenian yang telah mendarah daging memang seharusnya menjadi kebanggaan bagi masyarakat sekitar maupun masyarakat luas pada umumnya. Dampak globalisasi tidak perlu menjadi alasan semakin memudarnya kesenian daerah di masyarakat. Merujuk Setiawan (2015) dalam tulisannya “Pemberdayaan Nilai Etika, Estetika, dan Ekonomi sebagai Upaya Pelestarian Kesenian Tradisional Kuda Renggong“ bahwa “Kuda Renggong kini telah menjadi komoditi pariwisata yang dikenal secara nasional dan internasional”.
Kebudayaan tradisional khususnya Kuda Renggong perlu mendapat dukungan lebih dari pemerinrah maupun masyarakat karena semakin dikenalnya budaya tersebut di dunia luas. Selain mempertahankan identitas daerah, juga mencegah budaya sendiri diklaim oleh bangsa lain.
(537)

Daftar Referensi
Haryatmoko. 2010. “Gagasan-Gagasan Pembuka Selubung Dominasi” dalam Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia.
Hall, Stuart. 1997. “The Work of Representation” dalam Stuart Hall (ed.) Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: The Open University Press.
Warieni, Gita. 2013. Perkembangan Pencak Silat Pancer di Jampangkulon Sukabumi Tahun 1960-1990. Diakses dari http://repository.upi.edu/4044/4/S_SEJ_0703993_Chapter1.pdf pada tanggal 2 November 2016.
Kuda Renggong diperoleh dari http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=365&lang=id pada tanggal 31 Oktober 2016.
Pemberdayaan Nilai Etika, Estetika, dan Ekonomi sebagai Upaya Pelestarian Kesenian Tradisional Kuda Renggong diperoleh dari http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/2015/05/20/pemberdayaan-nilai-etika-estetika-dan-ekonomi-sebagai-upaya-pelestarian-kesenian-tradisional-kuda-renggong/ pada tanggal 31 Oktober 2016.


Komentar

Postingan Populer